Collaborative Governance antara Pemerintah, PT. Astra dan Masyarakat Dalam Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh Sebagai Pelaksanaan Perwali No. 41 Tahun 2015 di Kampung Keputih Tegal Timur Kota Surabaya
Akibat tingginya penduduk membuat kepadadatan penduduk yang tidak berbanding lurus degan luas wilayah yang aada di kota Surabaya. Hal ini yang mempersulit pemerintah kota Surabaya untuk menanggulangi permasalahan terkait kawasan kumuh yang mencapai 38,83 %. Menurut Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pe...
Saved in:
Summary: | Akibat tingginya penduduk membuat kepadadatan penduduk yang tidak berbanding lurus degan luas wilayah yang aada di kota Surabaya. Hal ini yang mempersulit pemerintah kota Surabaya untuk menanggulangi permasalahan terkait kawasan kumuh yang mencapai 38,83 %. Menurut Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya, 2019. Surabaya kota terbesar ke dua di Indonesia dan Ibukota Provinsi Jawa Timur. Meskipun kawasan kumuh di kota Surabaya nomor 4 di Jawa Timur sesudah kota Malang, Pobolinggo dan Gresik namun peneliti memilih lokasi penelitian. Dengan adanya permasalahan ini Pemerintah Kota Surabaya Yng merupakan kota terbesar ke dua di Indonesia mengeluarkan program untuk mengatasi terciptanya daerah kumuh yaitu Program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh atau selanjutnya disebut RSDK. RSDK ini melibatkan pihak swasta (CSR) dan masyarakat Kota Surabaya untuk dapat saling bekerjasama dalam menangani masalah tersebut. Tujuan penelitian menjelaskan dan mendekripsikan serta memahami bagaimana collaborative governance antara Pemerintah, PT. ASTRA, dan Masyarakat dalam melaksanakan Peraturan Walikota Surabaya No 41 Tahun 2015 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh Di Kota Surabayadengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengunakan purposive select dalam penentuan informan dengan jumlah informan 16 orang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa collaborative governance yang terjadi antara Pemerintah, PT.ASTRA dan masyarakat kampung keputih tegal timur telah berjalan secara optimal. Bukti optimalnya dalam dimensi collaboration for productivity adalah warga dapat menghasilkan penghasilan dari keterampilannya dalam mengelola buah markisa dengan hasil 240.000 perharinya dan jamur yang memiliki hasil 25.000 per 10 kg jamur. Sedangkan yang belum tercapai adalah terkait membudidayakan ikan lele yang belum optimal sehingga belum dapat dijual belikan. Dalam collaborative gavernance yang paling kurang adalah di bidang collaboration for resources karena terhalang aturan terkait Perwali No 41 Tahun 2015 yang menyebutkan bahwa rutilahu tidak dapat dijalankan pada kawasan yang tidak bersertifikat hak milik sehingga program rutilahu tidak dapat dijalankan. |
---|