Identitas Konsumen Pakaian Bekas Di Wakatobi
Wakatobi adalah salah satu sentral dari praktek konsumsi pakaian bekas di Indonesia. Praktek konsumsi pakaian bekas menjadi tren positif di tengah pertumbuhan ekonomi yang baik, meskipun pakaian bekas adalah komoditas yang tidak diinginkan di negara produsen. Fenomena ini sering dilihat sebagai vari...
Saved in:
Summary: | Wakatobi adalah salah satu sentral dari praktek konsumsi pakaian bekas di Indonesia. Praktek konsumsi pakaian bekas menjadi tren positif di tengah pertumbuhan ekonomi yang baik, meskipun pakaian bekas adalah komoditas yang tidak diinginkan di negara produsen. Fenomena ini sering dilihat sebagai variasi geografis yang dibentuk oleh norma sosial-politik.
Tujuan penelitian ini adalah memahami praktek konsumsi pakaian bekas sebagai praktek identitas di daerah kepulauan Wakatobi. Metode yang digunakan meliputi teknik observasi, wawancara semi terstruktur, dan Questioner. Pendekatan yang digunakan adalah pembacaan pascakolonial, memahami wacana kolonial yang beroperasi dalam praktek konsumsi pakaian bekas dengan teknik analisis adalah Miles & Gilbert (2005).
Hasil analisis menunjukan bahwa praktek konsumsi pakaian bekas berawal dari pertumbuhan ekonomi yang buruk dimana harga murah adalah pilihan. Dalam perkembangannya, praktek konsumsi juga dipengaruhi oleh wacana kolonial sebagai relasi imperalisme yang beroperasi dalam relasi praktek konsumsi pakaian bekas. Produk pakaian bekas sebagai produk impor direpresentasikan sebagai produk yang berkualitas. Pakaian bekas adalah kebanggan, mengacu pada simbol modernitas, dibandingkan dengan pakaian produk lokal. Meskipun demikian, representasi tersebut terkontekstualisasikan dalam gaya lokal sehingga membentuk norma berpakaian semisal formal-casual. Pakaian bekas digunakan untuk aktifitas Casual, meskipun direpresentasikan sebagai produk berkualitas. Sebaliknya, pakaian produk lokal digunakan untuk aktivitas formal. Oleh karena itu, praktek formal-casual dipahami sebagai wujud dari hibriditas budaya, yaitu pola yang muncul akibat adanya sifat antara ketertarikan dan penolakan pada sebuah komoditas. Rasa antara ketertarikan dan penolakan tersebut populer dengan istilah ambivalensi dalam wacana pascakolonial. |
---|