KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA

Pada awalnya Bilateral Investment Treaties (BITs) dikenal sebagai perjanjian Friendship, Commerce and Navigation atau FCN. Amerika Serikat yang paling banyak membuat perjanjian ini. Tujuan dari pembuatan perjanjian ini tidak terbatas kepada investasi membentuk aliansi, tetapi juga akses kepada fasil...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: BIRKAH LATIF, 090710304 M
Format: Theses and Dissertations NonPeerReviewed
Language:Indonesian
Indonesian
Published: 2009
Subjects:
Online Access:http://repository.unair.ac.id/38268/1/gdlhub-gdl-s3-2010-latifbirka-11253-th440-k.pdf
http://repository.unair.ac.id/38268/2/gdlhub-gdl-s3-2010-latifbirka-10495-th4409.pdf
http://repository.unair.ac.id/38268/
http://lib.unair.ac.id
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Institution: Universitas Airlangga
Language: Indonesian
Indonesian
id id-langga.38268
record_format dspace
institution Universitas Airlangga
building Universitas Airlangga Library
country Indonesia
collection UNAIR Repository
language Indonesian
Indonesian
topic HG4538 Foreign investments
K1112-1116 Investments
K7000-7720 Private international law. Conflict of laws
spellingShingle HG4538 Foreign investments
K1112-1116 Investments
K7000-7720 Private international law. Conflict of laws
BIRKAH LATIF, 090710304 M
KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA
description Pada awalnya Bilateral Investment Treaties (BITs) dikenal sebagai perjanjian Friendship, Commerce and Navigation atau FCN. Amerika Serikat yang paling banyak membuat perjanjian ini. Tujuan dari pembuatan perjanjian ini tidak terbatas kepada investasi membentuk aliansi, tetapi juga akses kepada fasilitas militer dan alur laut serta menguasai bagian-bagian strategis dari suatu negara. Kecenderungan FCN beralih kepada the right of establishment (pendirian perusahaan di luar negeri) dan hak memajukan penanaman modal swasta. Perubahan penekanan ini karena dua sebab. Pertama, sebagai akibat langsung dan meningkatnya peranan investasi asing setelah PD II . Kedua, karena lahirnya kerangka pengaturan perdagangan multilateral GATT. Sebagai pengganti FCN, suatu tahapan baru dan penting bagi perkembangan BITs mulai muncul akhir tahun 1960-an. Perjanjian BITs ini merupakan rancangan yang dibuat oleh suatu kelompok bernama Abs/Showcross pada tahun 1959 dan juga oleh the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 1967, sehingga semua perjanjian yang dibuat sifat dan isi maupun strukturnya pada pokoknya sama. Namun seiring perjalanan waktu sehingga ada penambahan dan perubahan di sana-sini. Perundingan investasi bilateral semakin banyak dilakukan oleh negara-negara dalam beberapa tahun terakhir. Kecenderungan ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa perundingan investasi di forum multilateral atau forum WTO mengalami kebuntuan. Semakin banyaknya perundingan tingkat bilateral ini didorong oleh alasan pragmatis. Perundingan bilateral melibatkan lebih sedikit negara, yang membutuhkan biaya relatif lebih rendah dan meminimalkan potensi timbulnya masalah rumit yang berada diluar jangkauan negara-negara kecil. Perjanjian BITs di bidang investasi antar negara telah berkembang dalam dekade-dekade terakhir dan bahkan telah menjadi salah satu perjanjian internasional yang penting. Disamping jumlah penggunaan BITs yang semakin meningkat juga penggunaan klausula-klausula (pasal) dalam BITs mengalami perkembangan yang semakin kompleks dan dinamis, bahkan juga dimasukkannya isu lingkungan hidup dan tenaga kerja didalamnya. Setelah praktik yang cukup lama kehadiran BITs ini mengalami kritikan-kritikan. Penulis berpendapat bahwa BITs memberikan dukungan standar-standar daripada Hukum Kebiasaan Internasional. Dapat dilihat bahwa perjanjian memantapkan praktik-praktik yang telah ada dan memberikan kontribusi terhadap prinsip-prinsip kebiasaan di masa yang akan datang. Secara tidak langsung dengan adanya BITs yang memiliki standar-standar dan diikuti oleh negara-negara serta mempengaruhi praktik negara-negara dalam pembuatan Hukum Investasi nasional mereka serta menjadi bagian dari Hukum Internasional. Prinsip-prinsip dalam BITs ini tumbuh dan berkembang bahkan memberikan suatu Prinsip-Prinsip Hukum yang jika terus menerus dipraktekkan dengan sendirinya akan menjadi suatu Norma Hukum Internasional baru. BITs memiliki pengaruh terhadap Hukum Kebiasaan Internasional sebagai contoh konsep Hull dalam teori pemberian ganti rugi dengan cara-cara yang digunakan dahulu dalam masyarakat internasional tidak dapat lagi diberlakukan. Berganti dengan standar baru yang diterima oleh pihak-pihak dalam perumusan BITs, yang telah menjadi standar umum. Pergantian Konsep dari Hull ini oleh penulis disimpulkan sebagai Prinsip-Prinsip Hukum Kebiasaan Internasional yang tentu saja jika terus diterapkan akan mendorong terbentuknya suatu Hukum Kebiasaan Internasional yang dapat membentuk kaidah-kaidah Hukum Internasional baru dan dapat dituangkan dalam Perjanjian Internasional, lebih khusus lagi menjadi masukan dalam pembuatan The Multilateral Agreement on Investment (MAI), sebagai pedoman dalam pelaksanaan masyarakat internasional dalam bidang Hukum Investasi ataupun bidang lain dari Hukum Internasional. Investasi asing memiliki peranan yang sangat penting baik di negara maju maupun di negara berkembang. Pembangunan negara bergantung pada sektor swasta (private investment) dan sektor investasi publik (public investment), untuk membangun public investment tersebut diperlukan dana yang besar yang harus diperoleh melalui National Revenue. National Revenue biasanya diperoleh dari sektor pajak dan cukai yang masih relatif terbatas (kecil), sehingga masih memerlukan bantuan modal dari sektor swasta khususnya dari luar negeri. Indonesia menyadari pentingnya investasi asing secara langsung yang biasa disebut juga dengan Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI), dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan perekonomian. Indonesia sendiri menekankan dua faktor untuk menarik para investor menanamkan modalnya yaitu: Soft factors yaitu terdiri atas peraturan, kepastian hukum, stabilitas, kebijakan ekonomi makro, kondisi perbankan dan faktor lainnya (soft factors menentukan daya tarik investasi jangka pendek, selama ini Indonesia lebih menekankan investasinya pada soft factors). Selain itu juga terdapat Hard factors yaitu infrastruktur, SDM, pendidikan dan penguasaan tekhnologi (hard factors menentukan daya tarik investasi jangka panjang). Dalam kerangka membina hubungan baik antar negara serta kesadaran untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama ("mutual interests"), dirasakan penting untuk dibentuk kerjasama khusus di bidang promosi dan peningkatan investasi. Salah satu bentuk perjanjian investasi antar pemerintah yang sangat populer adalah Bilateral Investment Treaties (BITs) atau Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M). P4M pada dasarnya merupakan perjanjian di bidang investasi yang secara umum memuat dua hal yaitu promosi dan proteksi. Di sisi promosi, kedua negara akan saling berupaya untuk meningkatkan kegiatan investasi melalui, antara lain, tukar menukar informasi mengenai ketentuan dan peluang investasi, kerjasama capacity building dan technical assistance untuk mendorong perdagangan dan investasi, transfer teknologi, dan membentuk komite bersama untuk memantau perkembangan promosi investasi yang telah dilakukan. Sementara dari sisi proteksi, negara host akan menjamin investor asing dari perlakuan diskriminatif, baik terhadap investor host country (national treatment/NT) maupun dari investor negara lain (Most Favoured Nations/MFN). Negara host juga menjamin tidak akan melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan aset investor asing (expropriation), kecuali atas dasar kepentingan publik dan negara host wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada investor asing tersebut. Pemerintah host country juga harus memberikan kompensasi atas kerugian investor asing akibat huru-hara, kerusuhan sosial atau politik, atau perang sipil di negara host. Disamping itu negara host juga menjamin kebebasan investor asing untuk melakukan transfer keluar dan masuk negara host dalam rangka menunjang kegiatan investasinya. Perkembangan aliran FDI yang masuk di Indonesia secara umum menunjukkan peningkatan tiap tahunnya. Dalam praktik pembuatan BITs ini juga biasanya beberapa negara mengikutsertakan perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau biasa juga disebut Double Taxation Treaties (DTT). Indonesia selain mengadakan perjanjian BITs dengan negara-negara juga telah ikut serta dalam pembuatan perjanjian investasi dalam kerangka bilateral Free Trade Area (FTA). Perjanjian FTA Indonesia dengan Jepang (IJ-EPA). Selain itu dalam kerangka ASEAN sebagai salah satu anggota turut serta dalam memajukan upaya investasi dalam merumuskan Framework Agreement on the ASEAN Investment Area (AIA) yang merupakan forum kerjasama ASEAN di bidang investasi yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang menarik, kompetitif dengan lingkungan investasi yang lebih liberal dan terbuka untuk tujuan investasi. Pengaturan isu BITs yang semakin dalam dan luas tersebut serta peningkatan jumlah pemakaian BITs yang cukup pesat tidak terlepas dari gagalnya upaya multilateralisasi perjanjian internasional di bidang investasi dalam putaran perundingan WTO maupun oleh negara-negara OECD. Sehingga BITs atau FTA yang memuat perjanjian investasi digunakan sebagai salah satu cara untuk mengamankan investasi negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
format Theses and Dissertations
NonPeerReviewed
author BIRKAH LATIF, 090710304 M
author_facet BIRKAH LATIF, 090710304 M
author_sort BIRKAH LATIF, 090710304 M
title KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA
title_short KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA
title_full KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA
title_fullStr KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA
title_full_unstemmed KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA
title_sort kedudukan bilateral investment treaties (bits) dalam perkembangan hukum investasi di indonesia
publishDate 2009
url http://repository.unair.ac.id/38268/1/gdlhub-gdl-s3-2010-latifbirka-11253-th440-k.pdf
http://repository.unair.ac.id/38268/2/gdlhub-gdl-s3-2010-latifbirka-10495-th4409.pdf
http://repository.unair.ac.id/38268/
http://lib.unair.ac.id
_version_ 1681144316368519168
spelling id-langga.382682016-06-29T14:20:38Z http://repository.unair.ac.id/38268/ KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA BIRKAH LATIF, 090710304 M HG4538 Foreign investments K1112-1116 Investments K7000-7720 Private international law. Conflict of laws Pada awalnya Bilateral Investment Treaties (BITs) dikenal sebagai perjanjian Friendship, Commerce and Navigation atau FCN. Amerika Serikat yang paling banyak membuat perjanjian ini. Tujuan dari pembuatan perjanjian ini tidak terbatas kepada investasi membentuk aliansi, tetapi juga akses kepada fasilitas militer dan alur laut serta menguasai bagian-bagian strategis dari suatu negara. Kecenderungan FCN beralih kepada the right of establishment (pendirian perusahaan di luar negeri) dan hak memajukan penanaman modal swasta. Perubahan penekanan ini karena dua sebab. Pertama, sebagai akibat langsung dan meningkatnya peranan investasi asing setelah PD II . Kedua, karena lahirnya kerangka pengaturan perdagangan multilateral GATT. Sebagai pengganti FCN, suatu tahapan baru dan penting bagi perkembangan BITs mulai muncul akhir tahun 1960-an. Perjanjian BITs ini merupakan rancangan yang dibuat oleh suatu kelompok bernama Abs/Showcross pada tahun 1959 dan juga oleh the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 1967, sehingga semua perjanjian yang dibuat sifat dan isi maupun strukturnya pada pokoknya sama. Namun seiring perjalanan waktu sehingga ada penambahan dan perubahan di sana-sini. Perundingan investasi bilateral semakin banyak dilakukan oleh negara-negara dalam beberapa tahun terakhir. Kecenderungan ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa perundingan investasi di forum multilateral atau forum WTO mengalami kebuntuan. Semakin banyaknya perundingan tingkat bilateral ini didorong oleh alasan pragmatis. Perundingan bilateral melibatkan lebih sedikit negara, yang membutuhkan biaya relatif lebih rendah dan meminimalkan potensi timbulnya masalah rumit yang berada diluar jangkauan negara-negara kecil. Perjanjian BITs di bidang investasi antar negara telah berkembang dalam dekade-dekade terakhir dan bahkan telah menjadi salah satu perjanjian internasional yang penting. Disamping jumlah penggunaan BITs yang semakin meningkat juga penggunaan klausula-klausula (pasal) dalam BITs mengalami perkembangan yang semakin kompleks dan dinamis, bahkan juga dimasukkannya isu lingkungan hidup dan tenaga kerja didalamnya. Setelah praktik yang cukup lama kehadiran BITs ini mengalami kritikan-kritikan. Penulis berpendapat bahwa BITs memberikan dukungan standar-standar daripada Hukum Kebiasaan Internasional. Dapat dilihat bahwa perjanjian memantapkan praktik-praktik yang telah ada dan memberikan kontribusi terhadap prinsip-prinsip kebiasaan di masa yang akan datang. Secara tidak langsung dengan adanya BITs yang memiliki standar-standar dan diikuti oleh negara-negara serta mempengaruhi praktik negara-negara dalam pembuatan Hukum Investasi nasional mereka serta menjadi bagian dari Hukum Internasional. Prinsip-prinsip dalam BITs ini tumbuh dan berkembang bahkan memberikan suatu Prinsip-Prinsip Hukum yang jika terus menerus dipraktekkan dengan sendirinya akan menjadi suatu Norma Hukum Internasional baru. BITs memiliki pengaruh terhadap Hukum Kebiasaan Internasional sebagai contoh konsep Hull dalam teori pemberian ganti rugi dengan cara-cara yang digunakan dahulu dalam masyarakat internasional tidak dapat lagi diberlakukan. Berganti dengan standar baru yang diterima oleh pihak-pihak dalam perumusan BITs, yang telah menjadi standar umum. Pergantian Konsep dari Hull ini oleh penulis disimpulkan sebagai Prinsip-Prinsip Hukum Kebiasaan Internasional yang tentu saja jika terus diterapkan akan mendorong terbentuknya suatu Hukum Kebiasaan Internasional yang dapat membentuk kaidah-kaidah Hukum Internasional baru dan dapat dituangkan dalam Perjanjian Internasional, lebih khusus lagi menjadi masukan dalam pembuatan The Multilateral Agreement on Investment (MAI), sebagai pedoman dalam pelaksanaan masyarakat internasional dalam bidang Hukum Investasi ataupun bidang lain dari Hukum Internasional. Investasi asing memiliki peranan yang sangat penting baik di negara maju maupun di negara berkembang. Pembangunan negara bergantung pada sektor swasta (private investment) dan sektor investasi publik (public investment), untuk membangun public investment tersebut diperlukan dana yang besar yang harus diperoleh melalui National Revenue. National Revenue biasanya diperoleh dari sektor pajak dan cukai yang masih relatif terbatas (kecil), sehingga masih memerlukan bantuan modal dari sektor swasta khususnya dari luar negeri. Indonesia menyadari pentingnya investasi asing secara langsung yang biasa disebut juga dengan Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI), dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan perekonomian. Indonesia sendiri menekankan dua faktor untuk menarik para investor menanamkan modalnya yaitu: Soft factors yaitu terdiri atas peraturan, kepastian hukum, stabilitas, kebijakan ekonomi makro, kondisi perbankan dan faktor lainnya (soft factors menentukan daya tarik investasi jangka pendek, selama ini Indonesia lebih menekankan investasinya pada soft factors). Selain itu juga terdapat Hard factors yaitu infrastruktur, SDM, pendidikan dan penguasaan tekhnologi (hard factors menentukan daya tarik investasi jangka panjang). Dalam kerangka membina hubungan baik antar negara serta kesadaran untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama ("mutual interests"), dirasakan penting untuk dibentuk kerjasama khusus di bidang promosi dan peningkatan investasi. Salah satu bentuk perjanjian investasi antar pemerintah yang sangat populer adalah Bilateral Investment Treaties (BITs) atau Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M). P4M pada dasarnya merupakan perjanjian di bidang investasi yang secara umum memuat dua hal yaitu promosi dan proteksi. Di sisi promosi, kedua negara akan saling berupaya untuk meningkatkan kegiatan investasi melalui, antara lain, tukar menukar informasi mengenai ketentuan dan peluang investasi, kerjasama capacity building dan technical assistance untuk mendorong perdagangan dan investasi, transfer teknologi, dan membentuk komite bersama untuk memantau perkembangan promosi investasi yang telah dilakukan. Sementara dari sisi proteksi, negara host akan menjamin investor asing dari perlakuan diskriminatif, baik terhadap investor host country (national treatment/NT) maupun dari investor negara lain (Most Favoured Nations/MFN). Negara host juga menjamin tidak akan melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan aset investor asing (expropriation), kecuali atas dasar kepentingan publik dan negara host wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada investor asing tersebut. Pemerintah host country juga harus memberikan kompensasi atas kerugian investor asing akibat huru-hara, kerusuhan sosial atau politik, atau perang sipil di negara host. Disamping itu negara host juga menjamin kebebasan investor asing untuk melakukan transfer keluar dan masuk negara host dalam rangka menunjang kegiatan investasinya. Perkembangan aliran FDI yang masuk di Indonesia secara umum menunjukkan peningkatan tiap tahunnya. Dalam praktik pembuatan BITs ini juga biasanya beberapa negara mengikutsertakan perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau biasa juga disebut Double Taxation Treaties (DTT). Indonesia selain mengadakan perjanjian BITs dengan negara-negara juga telah ikut serta dalam pembuatan perjanjian investasi dalam kerangka bilateral Free Trade Area (FTA). Perjanjian FTA Indonesia dengan Jepang (IJ-EPA). Selain itu dalam kerangka ASEAN sebagai salah satu anggota turut serta dalam memajukan upaya investasi dalam merumuskan Framework Agreement on the ASEAN Investment Area (AIA) yang merupakan forum kerjasama ASEAN di bidang investasi yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang menarik, kompetitif dengan lingkungan investasi yang lebih liberal dan terbuka untuk tujuan investasi. Pengaturan isu BITs yang semakin dalam dan luas tersebut serta peningkatan jumlah pemakaian BITs yang cukup pesat tidak terlepas dari gagalnya upaya multilateralisasi perjanjian internasional di bidang investasi dalam putaran perundingan WTO maupun oleh negara-negara OECD. Sehingga BITs atau FTA yang memuat perjanjian investasi digunakan sebagai salah satu cara untuk mengamankan investasi negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. 2009 Thesis NonPeerReviewed text id http://repository.unair.ac.id/38268/1/gdlhub-gdl-s3-2010-latifbirka-11253-th440-k.pdf text id http://repository.unair.ac.id/38268/2/gdlhub-gdl-s3-2010-latifbirka-10495-th4409.pdf BIRKAH LATIF, 090710304 M (2009) KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA. http://lib.unair.ac.id