MITOS TRADISIONAL GEISHA: REPRESENTASI PEREMPUAN PBNGHIBUR JEPANG DALAM NOVEL YUKIGUMI, MEMOAR OF GEISHA DAN KEMBANG JEPUN
Geisha, sebagai salah satu simbol budaya tradisional Jepang yang eksotis telah banyak di eksplorasi dalam berbagai media representasi seperti: sastra, cinematografi maupun dalam bentuk produk budaya material seperti, fashion. Selain menjadi simbol tradisionalisme dari sebuah komunitas bangsa, secara...
Saved in:
Main Authors: | , , |
---|---|
Format: | Other NonPeerReviewed |
Language: | Indonesian Indonesian |
Published: |
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2008
|
Subjects: | |
Online Access: | http://repository.unair.ac.id/40598/1/gdlhub-gdl-res-2008-martasyahr-6304-lp19_08.pdf http://repository.unair.ac.id/40598/12/535.%2040598.pdf http://repository.unair.ac.id/40598/ http://lib.unair.ac.id |
Tags: |
Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
|
Institution: | Universitas Airlangga |
Language: | Indonesian Indonesian |
Summary: | Geisha, sebagai salah satu simbol budaya tradisional Jepang yang eksotis telah banyak di eksplorasi dalam berbagai media representasi seperti: sastra, cinematografi maupun dalam bentuk produk budaya material seperti, fashion. Selain menjadi simbol tradisionalisme dari sebuah komunitas bangsa, secara khusus Geisha juga telah menjadi representasi dari perempuan yang menjadi atribut dari dominasi budaya tradisonal yang patriarkis. Bahkan penyajian ataupun penuinculan atmosfer tradisionalisme Jepang melalui Geisha akan identik dengan sosok berbaju berkimono, bersanggul, bermake-up tebal dan berperilaku pendiam dan lemah lembut dihadapan pria. Lebih parah lagi, reduksi makna Geisha menjadi sekadar pelacur ala Jepang yang keberadaannya sebagai pemuas nafsu laki-laki, sudah persepsi umum yang banyak dianut oleh komunitas dunia, termasuk Indonesia. Stigma dan stereotype ini masih berlanjut dan melekat sampai sekarang ini sebagai sebuah pemahaman komunal masyarakat terhadap simbol budaya tersebut. Stigma-stigma dan mitos tradisional tersebut diatas yang masih kuat menyertainya dalam karya-karya sastra modem, baik di Jepang sendiri maupun negara lain, meskipun pemaknaan terhadap figur Geisha mengalami deversifikasi dan keragaman, setelah mengalami proses transfonnasi bahasa dan budaya. Yukiguni (Kawabata Yasunari), Kembang Jepun (Remy Silado) dan Memoar of Geisha (Arthur Gordon) adalah novel-novel yang mencoba merepresentasikan Geisha dalam dunia kata-kata melalui konsep estetika budaya masing-masing. Ketiganya memakai penandaan yang sama, yaitu kata Geisha, untuk menandai identitas tokoh ceritanya, akan tetapi perbedaan tampak dalam pengembangan karakter yang mempresentasikan oleh tokoh Geisha dalam masing-masing novel itu sendiri. Dengan menggunakan metode pendekatan representasi konstruktif yang memperhatikan fungsi kebahasaan dalam membangun suatu konsep kebudayaan dan meletakkan landasan pada teori-teori aliran New Historicism yang meletakkan aspek kesadaran manusia disamping sebab-sebab sejarah dari karya-karya sastra dan menghubungkan karya-karya sastra dengan berbagai fenomena budaya dalam sate periode dengan wilayah kajian ilmu lainnya dalam deskripsinya, penelitian ini mencoba menjelaskan, mengungkap dan menarik hubungan antara representasi Geisha dalam karya sastra yang berbeda latar budaya dengan mitos-mitos dasar yang memproduksinya, serta sebab-sebab yang menyertainya. Dari hasil analisis yang dilakukan, perbedaan konsepsi dasar tentang Geisha yang disebabkan oleh adanya rentangan budaya, kesejarahan dan proses penciptaan yang melibatkan tokoh-tokoh nyata menyebabkan representasi yang beragam dalam mempresentasikan Geisha. Keberadaan pengarang laki-laki sebagai pencipta karya sastra itu sendiri juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketiga novel tersebut masih bertumpu pada tokoh wanita dan mengekalkan Geisha sebagai objek seksualitas dunia laki-laki dalam representasi sastranya. |
---|