INKONSISTENSI ANTARA UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DAN UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DALAM PENGATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Dalam Pasal 39 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) dinyatakan bahwa pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka wakt...
Saved in:
Main Author: | |
---|---|
Format: | Theses and Dissertations NonPeerReviewed |
Language: | Indonesian Indonesian |
Published: |
2016
|
Subjects: | |
Online Access: | http://repository.unair.ac.id/59299/1/FH.%20103-17%20Hid%20i%20abstrak.pdf http://repository.unair.ac.id/59299/2/FH.%20103-17%20Hid%20i.pdf http://repository.unair.ac.id/59299/ http://lib.unair.ac.id |
Tags: |
Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
|
Institution: | Universitas Airlangga |
Language: | Indonesian Indonesian |
Summary: | Dalam Pasal 39 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan)
dinyatakan bahwa pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan
kerja, dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan
jangka waktu menurut persetujuan dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan
dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya.
Ketentuan ini tidak sesuai dengan konsep pemutusan hubungan kerja (PHK) yang
diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UU Ketenagakerjaan). Dalam UU Ketenagakerjaan, PHK dibedakan menjadi 4
jenis yaitu PHK demi hukum, PHK oleh pengadilan, PHK oleh pekerja/buruh dan
PHK oleh pengusaha. Masing-masing jenis PHK tersebut masih dapat dibedakan
lagi dan memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda baik dari segi prosedur
maupun pemenuhan hak-hak normatif pekerja/buruh, sedangkan UU Kepailitan
secara tersurat menyamakan konsep PHK oleh pengusaha dan PHK
pekerja/buruh. Di samping itu, UU Ketenagakerjaan tidak mengenal adanya PHK
oleh pekerja/buruh karena pengusaha mengalami pailit. Dalam UU
Ketengakerjaan, PHK oleh pekerja/buruh terjadi karena pengusaha telah
melakukan kesalahan berat atau pekerja/buruh mengundurkan diri. Konsekuensi
yuridis dari pengunduran diri adalah pekerja/buruh tidak mendapatkan uang
pesangon dan uang penghargaan masa kerja sehingga timbul suatu permasalahan
apakah pekerja/buruh yang mengajukan PHK karena perusahaan pailit itu masuk
kategori PHK karena pengusaha melakukan kesalahan berat atau masuk
kualifikasi pekerja/buruh mengundurkan diri.
Kata kunci : Kepailitan, Pekerja/Buruh, Pemutusan Hubungan Kerja |
---|