Perbandingan Kejadian Obstructive Sleep Apnea pada Anak dengan Kelainan Kraniofasial Kongenital dan pada Anak Tanpa Kelainan Kraniofasial Kongenital di RSUD Dr. Soetomo Tahun 2014 – 2018

Latar Belakang: Peningkatan prevalensi craniosynostosis dikaitkan dengan peningkatan prevalensi obstructive sleep apnea (OSA). Anak-anak dengan kelainan kraniofasial kongenital biasanya memiliki kelainan bentuk rahang atas, hipoplasia mandibula, makroglosia, atau tonus motorik buruk yang menjadi pre...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Arif Tri Prasetyo, dr, NIM011418246303
Format: Theses and Dissertations NonPeerReviewed
Language:Indonesian
Indonesian
Indonesian
Indonesian
Published: 2019
Subjects:
Online Access:http://repository.unair.ac.id/84129/1/ABSTRAK.pdf
http://repository.unair.ac.id/84129/2/Daftar%20Isi.pdf
http://repository.unair.ac.id/84129/3/DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
http://repository.unair.ac.id/84129/4/ppds%20BPRE%2003%2019.pdf
http://repository.unair.ac.id/84129/
http://lib.unair.ac.id
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Institution: Universitas Airlangga
Language: Indonesian
Indonesian
Indonesian
Indonesian
Description
Summary:Latar Belakang: Peningkatan prevalensi craniosynostosis dikaitkan dengan peningkatan prevalensi obstructive sleep apnea (OSA). Anak-anak dengan kelainan kraniofasial kongenital biasanya memiliki kelainan bentuk rahang atas, hipoplasia mandibula, makroglosia, atau tonus motorik buruk yang menjadi predisposisi gangguan jalan napas bagian atas dan bawah sehingga berisiko tinggi terhadap perkembangan OSA. Pada anak-anak, gejala OSA termasuk mendengkur, arousals, dan jeda dalam respirasi, mengantuk di siang hari, dan masalah neurobehavioral. Objektif: Untuk mencari hubungan antara kelainan kraniofasial kongenital dan obstrucyive sleep apnea (OSA) pada populasi anak – anak. Metodologi: Ini adalah penelitian retrospektif dengan rancang bangun cross sectional. Riwayat medis dari 33 anak (0-18 tahun) yang dirujuk untuk penilaian OSA diperiksa secara retrospektif. Anak-anak menjalani polisomnografi dan diklasifikasikan sebagai memiliki primary snoring (PS) menggunakan apnea hipopnea index (AHI). Informasi diperoleh dari nilai prediktif faktor-faktor berikut untuk menentukan keparahan OSA: jenis kelamin, indeks massa tubuh, usia, dan kelainan kongenital. Analisis chi-squared digunakan untuk membandingkan distribusi faktor demografi dan klinis di seluruh kelompok. Faktor-faktor risiko yang signifikan secara statistik kemudian dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik. Hasil: Terdapat 64% pasien yang didiagnosis dengan sleep apnea dengan polysomnography, 62% adalah laki-laki dan sisanya adalah perempuan. Berdasarkan jenis anomali, 66,67% pasien dengan kelainan kraniofasial kongenital didiagnosis dengan sleep apnea, dan 60% pasien tanpa kelainan kraniofasial didiagnosis dengan sleep apnea. Terdapat 21 pasien yang didiagnosis dengan sleep apnea, di antaranya 57,14% memiliki kelainan kraniofasial bawaan. Secara statistik, tidak ada perbedaan dalam proporsi antara kelompok kelainan kraniofasial kongenital dan kelompok nonkelainan kraniofasial (p = 0,692), dengan risk ratio adalah 1,33. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara insiden OSA pada kelaianan kraniofasial kongenital dan non kelainan kraniofasial. Tetapi kelainan kraniofasial bawaan akan meningkatkan risiko OSA 1,33 kali pada populasi.