Civil Society And Democratic Governance: The Case of Indonesia

Perdebatan mengenai hubungan antara negara (state) dan masyarakat madani (civil society) sejauh ini masih terpengaruh oleh argumentasi Hegel, bahwa isu pentingnya terletak pada bagaimana menciptakan masyarakat yang lebih demokratis dan mencapai keadilan sosial bagi rakyat dan sebuah negara oligarki...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Perpustakaan UGM, i-lib
Format: Article NonPeerReviewed
Published: [Yogyakarta] : Universitas Gadjah Mada 2001
Subjects:
Online Access:https://repository.ugm.ac.id/21967/
http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=4847
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Institution: Universitas Gadjah Mada
Description
Summary:Perdebatan mengenai hubungan antara negara (state) dan masyarakat madani (civil society) sejauh ini masih terpengaruh oleh argumentasi Hegel, bahwa isu pentingnya terletak pada bagaimana menciptakan masyarakat yang lebih demokratis dan mencapai keadilan sosial bagi rakyat dan sebuah negara oligarki di mana pemerintah dan partai-partai politik mernelihara status quo untuk melindungi kepentingan bersama mereka. Meskipun pemerintahan Megawai telah berhasil mendinginkatt kehidupan politik di Indonesia tetapi mengingat masih buruknya kualitas partai politik serta visi politik Megawati yang letnah. pemerintahan ini belum mampu memberilccus yang terbaik bagi rakyat negeri ini. Kata kunci: politik pasca-Suharto, masyarakat madard, pemerintahan yang demokratis bukan ntengubah sistem masyarakat menjadi negara sosialis. Kini, diskursus intelektual lebih terpusat pada bagaimana inemperkuat dan meningkatkan kualitas masyarakat madani untuk menciptakan sebuah demokrasi yang baik, sehat dan berkelanjutan serta memenuhi harapan rakyat. Tulisan ini membahas peran masyarakat madani di Indonesia dalam mempengaruhi terbentuknya pemerintahan yang demokratis, terutama setelah tumbangnya rejim Suharto pada tahun 1998. Di bawah rejim Suharto yang otoritarian lembaga non-pemerintah (NGO) dan intelektual merupakan elemen yang, kendatipun serba terbatas, mampu mengontrol penyalaligunaan kekuasaan oleh pemerintah. Namur karena mereka sekadar merupakan kekuatan moral, kekuatan mereka ini gagal mendemokrasikan Indonesia. Pada 4nasa Habibie, sebuah sistem pemerintahan yang lebih demokratis telah muncul, setidaknya rejim ini berhasil rnendorong partisipasi masyarakat madani yang cukup rg substansial. Salah satu prestasi positif adalah dibukanya kebebasan media dan pelaksanaan pemilihan umunt yang demokratis. Akan tetapi, belum banyak yang dapat dilakukan bagi penciptaan good governance atau sistem pemerintahan yang baik, korupsi masih merajalela sedangkan penegakan hukum belum terinkcana. Selanjutnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid kekuatan demokratis setnakin kuat dalam arti bahwa kekuatan masyarakat madani, dalam hal ini partai partai politik, lebih kuat daripada pemerintah. Sepanjang pemerintahannya, Abdurrahman Wahid harus rizenghadapi tekanan-tekanan dari partai politik melalui parlemen hingga klimaksnya berakhir pada diturunkannya dia dart jabatan sebagai presiden. Pemerintah dun parlemen: ternyata tidak mampu bekerjasama secara produktif. lni s-ebagian disebabkan karena pola pemerintahan Abdurrahman Wahid yang cenderung ticlak konsisten dan juga karena kecenderungan para anggota parlemen yang melindungi kepentingan-kepentingan sempit mereka. Pemerintahan Megawati muncul sebagai rejirn yang mampu ineturrutzkatt suhu politik. Pemerintahannya tidak termasuk otoritculan, namun juga sulit untuk disebut demokratis jika itu diartikatz sebagai responsif terhadap kritik yang disampaikan oleh masyarakat. Megawati juga harus 4enghadapi parlemen yang kuat. Tetapi, karena rejim ini berasal dart partai yang menzegang mayoritas, yakni PDIP, telcanan-tekanan dart parlemen relatif dapat dikendalikannya dengan baik. Dapat dikatakan bahwa Megawai telah mengembangkan