Anti-Tuberkulosis
Sepanjang sejarah, wilayah tropis (Indonesia) lebih mudah terjangkit penyakit menular dibandingkan dengan wilayah beriklim sedang terutama infeksi. Alasan utamanya yaitu karena faktor lingkungan dengan kelembaban cukup tinggi, sehingga semua mahluk hidup tumbuh dengan baik, termasuk pathogen, vector...
Saved in:
Main Authors: | , |
---|---|
Format: | Book NonPeerReviewed |
Language: | English |
Published: |
Grafika Indah
2016
|
Subjects: | |
Online Access: | https://repository.ugm.ac.id/273526/1/Draft%20Buku%20Antituberkulosis%2014%20Desember.pdf https://repository.ugm.ac.id/273526/ |
Tags: |
Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
|
Institution: | Universitas Gadjah Mada |
Language: | English |
Summary: | Sepanjang sejarah, wilayah tropis (Indonesia) lebih mudah terjangkit penyakit menular dibandingkan dengan wilayah beriklim sedang terutama infeksi. Alasan utamanya yaitu karena faktor lingkungan dengan kelembaban cukup tinggi, sehingga semua mahluk hidup tumbuh dengan baik, termasuk pathogen, vector, dan host. Hal ini diperparah adanya faktor kesadaran kita untuk mengupayakan pengendalian penyakit menular atau penyakit tropis secara komprehensif-sistematis masih kurang. Salah satu contoh penyakit tropis yaitu tuberculosis dan sebagai penyebab utama kematian sebagai penyakit infeksi global. Kasus ini meningkat, bila ada interaksi antara tuberculosis dan epidemic HIV. Di banyak daerah di dunia khususnya di Negara kita, penyakit ini menyerang orang disegala usia dan diperburuk dengan adanya peningkatan resistensi bakteri pathogen terhadap obat sintetik.
Pengobatan penyakit TB yang disebabkan oleh M. tuberculosis yang masih sensitif Drug Sensitive-Tuberculosis (DS-TB) membutuhkan kombinasi obat yang terdiri atas 4-5 jenis obat selama 6 bulan atau lebih. Standard terapi untuk pasien DS-TB meliputi kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan pertama dan kombinasi isoniazid dan rifampisin saja untuk 4 bulan berikutnya.
Pengobatan MDR-TB membutuhkan waktu minimal 18 bulan. Pasien dengan MDR-TB mendapatkan secondline therapy yang meliputi aminoglikosida, antibiotik kuinolon, sikloserin, dan kapreomisin. Sayangnya, tingkat keberhasilan terapi MDR-TB ini hanya 48% dan perlu ada upaya untuk meningkatkannya. Tingkat keberhasilan terapi DS-TB sebesar 85%. Sekitar 9% dari pasien MDR-TB merupakan pasien dengan XDR-TB (Katsuno dkk., 2015). Sedangkan pengobatan XDR-TB membutuhkan terapi hingga waktu 2 tahun (Sizemore dkk, 2012). Banyaknya jenis obat yang digunakan serta lamanya waktu terapi menyebabkan rendahnya kepatuhan pasien TB di Indonesia dalam meminum obat antituberkulosis. Hal ini pengobatan TB yang menggunakan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) first-line, MDR-TB (Multi Drug Resisten Tuberculosis) (Chan dkk, 2002), extensively drug-resisten tuberculosis (XDR-TB) menunjukkan kegagalan akibat adanya resistensi MycobacteriumTuberculosis.
Eksplorasi biodiversity di Indonesia terutama tanaman obat untuk antituberkulosis menjadi tantangan sebagai jawaban dari penyakit dan kasus resistensi obat sintetis. Sejak tahun 2010 di Farmasi UGM sudah memulai untuk mengisolasi senyawa aktif dari tanaman obat asli Indonesia sebagai antituberkulosis, bahkan fraksi ini dilanjutkan penelitian di Universitas Wuerzburg Jerman tahun 2013. Masih dalam proses pemurnian isolat ini, skrining dilakukan pada beberapa tanaman obat lainnya dari sumber banyak keragaman tanaman.
Obat baru untuk terapi tuberkulosis sangat diperlukan, terutama obat dengan mekanisme yang mampu mempersingkat durasi terapi, efektif terhadap strain M. Tuberculosis sensitif dan strain resisten serta berpotensi untuk penggunaan dalam bentuk kombinasi. Selain itu dapat digunakan secara oral, dosis sekali sehari dan murah. Kriteria tersebut sesuai untuk penggunaan di negara-negara dengan kasus tuberkulosis tinggi seperti negara berkembang termasuk Indonesia. |
---|