Pandangan Iqbal (1876 - 1938) Tentang Sifat - Sifat Tuhan

Tuhan tidak dapat didefinisikan berdasarkan genus dan diferensiannya, karena - tidak ada faktor generik yang mengatasi Tuhan demikian juga tidak ada sesuatupun dapat dipisahkan dari-Nya secara diferensial. Yang melingkupi kata "Tuhan" hanyalah pernyataan "ada". Namun demikian kit...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: Sudaryanto, Sudaryanto
Format: Other NonPeerReviewed
Language:English
Published: Fakultas Filsafat UGM 1990
Subjects:
Online Access:https://repository.ugm.ac.id/284577/1/Pandangan%20Iqbal%20%281876-1938%29..._Sudaryanto_1990.pdf
https://repository.ugm.ac.id/284577/
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Institution: Universitas Gadjah Mada
Language: English
Description
Summary:Tuhan tidak dapat didefinisikan berdasarkan genus dan diferensiannya, karena - tidak ada faktor generik yang mengatasi Tuhan demikian juga tidak ada sesuatupun dapat dipisahkan dari-Nya secara diferensial. Yang melingkupi kata "Tuhan" hanyalah pernyataan "ada". Namun demikian kita harus membedakan keberadaan Tuhan dengan keberadaa yang lain. Maka apabila kita menyebut Tuhan sebagai wajib al wujud dan ciptaanNya sebagai " mumkin al-wujud" maka tidak dapat menghindarkan diri dari pensifatan Tuhan. Pensifatan Tuhan sebagai "wajib al wujud" dan "mumkin al wujud" bagi ciptaanNya menurut Iqbal akan menimbulkan kesulitan karena hukum sebab akibat itu mewajibkan akan adanya sebab maupun akibat. Dengan demikian ciptaan Tuhan tidak dapat sebut sebagai "mumkin al wujud" pula. Tuhan dapat disebut dengan berbagai sebutan yang menunjukkan sifat atau ciri keberadaannya. Jika sifat tersebut terpisah dan merupakan tambahan bagi esensiNya, maka sifat itu sama qadimnya dengan Tuhan. Sebaliknya jika sifat tersebut merupakan bagain dari esensi Tuhan, maka berakibat adanya pluralitas dalam esensi Tuhan. KOndidsi demikian mustahil bagi keesaan Tuhan. Iqbal menanggapi persoalan tersebut dengan mengatakan bahwa Tuhan itu bukan zat namun beresesni spiritual yang harus digagaskan sebagai "Diri mutlak". Diri Mutlak atau tidak dibulatkan oleh ruang maupun waktu, karena Tuhan menurut Al-Qur'an adalah batas. Keawalan Tuhan bukan karena adanya keawalan waktu, tetapi sebaliknya keawalan waktu karena keawalan Tuhan. Bagi Iqbal, diri itu bukan zat tetapi spiritual, oleh karenanya tidak dapat difahami tanpa adanya tabiat, tidak ada kesulitan apapun bila diaktakan Yuhan itu bersifat "pencipta". Setiap kegiatan termasuk di dalamnya mencipta, dari segi manusia ampak sebagai perubahan. Hal tersebut dapat menimbulkan kontradiksi dengan sifat "kesempurnaan". Namun demikian kondisi tersebut tidak dapat dikenakan pada Tuhan, karena kesempurnaan yang digambarkan sebagai netralitas (immobilita) merupakan kehampaan. Kesempurnaan Tuhan harus digagaskan sebagai kreatifitas Tuhan yang tidak habis-habisnya serta pelaksanaan itu bagi Tuhan, sebagai perubahan menuju kesempurnaan atau sebaliknya dari kesempurnaan menjadi kondisi yang lain, melainkan gerak hidup dalam kesempurnaan.